Makalah Sosiologi Kehutanan Medan, Oktober 2019
PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT SIMALUNGUN
Dosen
Penanggungjawab :
Agus
Purwoko, S.Hut., M.Si
Disusun
Oleh :
Wandi Alatas
Tambunan
171201145
Konservasi Sumberdaya Hutan 5
PROGRAM STUDI
KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada
Tuhan yang Maha Esa, karena berkat dan kasih karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan Makalah Sosiologi Kehutanan ini dengan baik. Makalah
yang berjudul “Perubahan Sosial Masyarakat Simalungun” ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Kehutanan pada
Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada dosen penanggungjawab Agus Purwoko, S.Hut., M.Si mata kuliah Sosiologi
Kehutanan, yang telah memberikan materi dengan baik dan benar.
Penulis
menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik
dari berbagai pihak dalam upaya untuk memperbaiki isi Makalah ini akan sangat penulis hargai. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Medan,
Oktober 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat adat dalam tradisi modern
dikenal dengan istilah “indigenous society”, yang secara harafiah
berarti seseorang yang di anggap memiliki keaslian kehidupan. Adat dapat
diartikan “pribumi” digunakan semata-mata sebagai suatu kata sifat, orang-orang
yang berasal dari suatu kultur atau kelompok menghormati asal usul mereka
dengan perasaan, pemaknaan dan pengertian yang mendalam atas suatu wilayah yang
mereka tempati. Masyarakat adat memiliki karakter yang membatasi diri dan
mengidentikan diri mereka sebagai sebuah kelompok kecil yang memiliki otoritas
dalam menempati sebuah wilayah tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang
disepakati secara konvensional (Niapele, 2014).
Aktifitas kebudayaan adalah bagian
penting dan tidak
terpisahkan dalam suatu masyarakat tidak
terkecuali bagi masyarakat adat yang sudah melaksanakannya secara turun temurun
dan menjadi bagian hidup mereka. Berkenaan dengan hal tersebut, konstitusi
telah mengamanatkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak
masyarakat adat dan identitas budayanya sebagaimana termaktub dalam Pasal 18b
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen IV) menyebutkan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Primawardani, 2017).
Kekayaan
budaya masing-masing etnis itu pun sudah sangat bergam jenisnya. Sejalan dengan
itu, pada kesempatan ini dicoba memperkenalkan budaya etnis Simalungun sebagai
salah satu etnis yang ada di daerah Sumatera Utara. Etnis Simalungun ini banyak
berdomisili di sekitar Danau Toba, yang termasuk sebagai salah satu tujuan
wisata di Indonesia. Simalungun sebagai salah satu etnis, dalam kehidupan
sehari-hari juga sesungguhnya kaya akan beragam budaya juga. Budaya dari segi
sistem sosial, bahasa, sastra, seni, serta kekayaan sumber daya alam lainnya
(Purba, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
interaksi sosial masyarakat Simalungun ?
2. Bagaimana
proses sosial masyarakat Simalungun ?
3. Bagaimana
norma masyarakat Simalungun ?
4. Bagaimana
pranata struktur sosial masyarakat Simalungun ?
5. Bagaimana
kelompok sosial masyarakat Simalungun ?
6. Bagaimana
perubahan sosial masyarakat Simalungun ?
1.3 Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui bagaimana interaksi sosial masyarakat Simalungun.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses sosial masyarakat
Simalungun.
3. Untuk
mengetahui bagaimana norma masyarakat Simalungun.
4. Untuk
mengetahui bagaimana pranata struktur sosial masyarakat Simalungun.
5. Untuk
mengetahui bagaimana kelompok sosial masyarakat Simalungun.
6. Untuk
mengetahui bagaimana perubahan sosial masyarakat Simalungun.
BAB II
ISI
2.1 Interaksi
Sosial Masyarakat Simalungun
Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat
yang multietnis. Hal ini tampak dari banyaknya suku yang beragam yang ada di
provinsi ini misalnya suku Batak Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan
Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara juga merupakan salah satu wilayah
yang di dalamnya didiami oleh berbagai suku bangsa yang menyebar di seluruh
daerah di Sumatera Utara mulai dari kota sampai ke pelosok desa atau dusun.
Sebagian besar suku-suku itu adalah penduduk asli namun ada juga yang
didatangkan dari luar Sumatera Utara pada saat pembukaan perkebunan di Sumatera
salah satunya di Simalungun. Daerah ini membutuhkan jumlah tenaga kerja yang
relative banyak dan membutuhkan pekerjapekerja yang terampil dan berkemauan
keras untuk maju di dalam bidangnya. Hal karakter pada masyarakat simalungun
yang terkadang tidak suka diatur inilah yang membuat para penjajah mendatangkan
para pekerja yang tekun, bisa diatur, dan tidak banyak berontak. Pada awal
pembukaan perkebunan, ada kesulitan bagi Belanda mendapatkan tenaga kerja untuk
menggarap perkebunan tersebut. Karakter orang Simalungun bukan tipe buruh dan
tidak bisa diandalkan menjadi seorang kuli dalam perkebunan tersebut. Orang
Simalungun sudah terbiasa dengan kehidupan yang mengikuti aroma alamnya yang
begitu subur untuk hidup. Untuk menggarap perkebunan tersebut Belanda
mendatangkan orang Jawa dimana orangnya tekun, mudah diatur serta tidak banyak
tuntutan.
2.2
Proses Sosial Masyarakat Simalungun
Etnis Simalungun pada beberapa puluh tahun lalu masih merupakan salah satu etnis yang memiliki indentitas dan pengaruh yang besar bagi daerah sekitar batas wilayah. Dari segi bahasa, Simalungun mempunyai bahasa asli yang merupakan satu sub bahasa daerah yang terdapat di Sumatera Utara dan bahasa ibu yang dituturkan oleh etnis yang mendiami daerah Kabupaten Simalungun juga sebagian daerah Kabupaten Deli Serdang.Menurut fakta dan historis, pengaruh dan penyebaran bahasa Simalungun pada hakekatnya hampir ke seluruh daerah di Sumatera Utara terutama di wilayah bagian timur bahkan sampai ke Riau. Pernyataan ini didasari oleh banyaknya bukti-bukti yang mengindikasikan hal tersebut, antara lain banyaknya nama-nama atau tempat daerah yang berbahasakan Simalungun, seperti Parbaungan, Pamatang Ganjang, Parhutaan Silou, dan sebagainya.Namun keadaan ini tidak bertahan lama dikarenakan migrasi yang terjadi di daerah Simalungun itu sendiri. Pembauran dengan etnis-etnis lain menyebabkan keberadaan dan identitas Etnis Simalungun menjadi semakin memudar, terkhusus dengan suku-suku tetangga dari pulau Samosir, Silalahi, Karo dan Pakpak yang menyababkan timbulnya kelompok-kelompok (marga) baru di Simalungun. Kemudian peran penyebaran agama juga sangat mempengaruhi pergeseran budaya dan identitas Etnis Simalungun, ditambah lagi dengan masuknya berbagai pendatang dari luar Simalungun dengan misi Agama dan juga mencari peruntungan kehidupan untuk bekerja di Simalungun.Hal ini tentunya menyebabkan Etnis Simalungun menjadi sangat toleran dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang.
2.3 Norma Masyarakat Simalungun
Simalungun adalah falsafahnya “Habonaron Do Bona”. Falsafah “Habonaron do Bona” menjadi hakikat orang Simalungun, yang artinya orang Simalungun menjunjung tinggi kejujuran atau kebenaran yang berfungsi sebagai cara orang Simalungun untuk bertindak secara hatihati dalam membuat keputusan agar tidak melakukan kesalahan dan dapat membuat keputusan yang benar. “Habonaron Do bona” mengandung prinsip saling mengasihi terhadap sesama, sehingga tanah Simalungun menjadi salah satu tujuan bagi pendatang untuk merantau, karakter orang Simalungun yang memandang bahwa tamu harus dihormati, membuat pendatang merasa nyaman untuk tinggal di tanah Simalungun. Selain itu Simalungun dikenal dengan tanahnya yang subur. Falsafah ini mengajak orang Simalungun untuk mencintai budayanya. Adat bagi masyarakat Simalungun adalah suatu yang harus di tonjolkan. Nilai budaya Simalungun tertuang dalam Tarian Simalungun, alat musik Simalungun, sastra Simalungun, nyanyian Simalungun serta pada acara-acara adat Simalungun.
2.4
Pranata Struktur Sosial Masyarakat Minang
Setiap etnik
di belahan dunia
manapun pasti memiliki
tujuh unsur kebudayaan universal
berupa, sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan,
bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Pada etnik
Simalungun memiliki struktur
sosial berbentuk pentangon sehingga disebut dengan struktur sosial
pentangon yaitu tolu sahundulan dan limasaodoran, struktur
sosial ini tumbuh
dan berkembang pada
masyarakat Simalungun yang patrilineal,
yakni hubungan kekerabatan
yang disusun berdasarkan garis
ayah (laki-laki). Struktur sosial
etnik Simalungun itu
ialah tondong (pihak pemberi istri) boru (pihak penerima istri) sanina
(pihak satu klan dengan tondong) dan
lima saodoran adalah
pengikut sertaan relasional kekerabatan yang
mengikut sertakan kerabat
dekat lainnya yakni tondong
ni tondongmaupun boru ni boru (boru mintori).
2.5 Kelompok Sosial Masyarakat Simalungun
Waktu Simalungun masih berstatus kerajaan kewarganegaraan di Simalungun sangat erat, di mana hanya masyarakat yang bermarga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang diakui sebagai masyarakat Simalungun yang dapat diberikan tanah oleh raja-raja Simalungun. Kerajaan Simalungun dahulu terbagi atas kasta (pembagian kelas masyarakat karena stuktur pemerintahannya yang feodal). Kelas utama sisebut “partongah” yaitu kelompok masyarakat kelas 44 bangsawan dari keturunan raja-raja Simalungun. Kelas menengah disebut “paruma” yaitu rakyat biasa dan terendah. Kelas terendah atau rakyat biasa disebut “jabolon” yaitu hamba. Kedudukan hamba ini sangat hina dan diperlakukan dengan kejam oleh pemiliknya yaitu kaum bangsawan.
2.6 Perubahan Sosial Masyarakat Minang
Dalam
bahasa Etnis Simalungun “budaya” dapat juga diartikan dalam kata “Ahap” atau
“Ahap” berada dalam “budaya”. Bagi masyarakat Simalungun, “Ahap” merupakan
suatu dasar penjiwaan terhadap kedirian dan kesukuan seseorang dalam
kehidupannya kebudayaan. Budaya bukan keadaan yang statis, budaya tidak pasif
tetapi budaya itu dinamis dan aktif. Baik karena pengaruh dari dalam
masyarakatnya, maupun dari luar masyarakat pendukung budaya tersebut. Hal yang
membedakan satu budaya dengan budaya yang lainnya adalah: ada budaya yang cepat
merespon lingkungan danada budaya yang lambat dalam merespon lingkungan. Bagi
peneliti hal ini merupakan fenomena menarik dan penting untuk dipahami dalam
melihat dinamika budaya dalam suatu masyarakat.Khususnya untuk menetapkan
keputusan, pola tindakan yang perlu dilakukan dalam berinteraksi dengan
masyarakat satu budaya dan berbeda budaya.
BAB III
PENUTUP
1. Orang
Simalungun sudah terbiasa dengan kehidupan yang mengikuti aroma alamnya yang
begitu subur untuk hidup.
2. Etnis
Simalungun pada beberapa puluh tahun lalu masih merupakan salah satu etnis yang
memiliki indentitas dan pengaruh yang besar bagi daerah sekitar batas wilayah.
3. Simalungun
adalah falsafahnya “Habonaron Do Bona”.
4. Bagi
masyarakat Simalungun, “Ahap” merupakan suatu dasar penjiwaan terhadap kedirian
dan kesukuan seseorang dalam kehidupannya kebudayaan.
Niapele, Sabaria. 2014.
Bentuk Pengelolaan Hutan Dengan Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Tugutil. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 6(3): 62-72.
Primawardani, Yuliana.
2017. Perlindungan Hak Masyarakat Adat Dalam Melakukan Aktivitas Ekonomi,
Sosial Dan Budaya Di Provinsi Maluku. Jurnal HAM. 8(1): 1-11.
Purba. 2017. Sistem
Kekerabatan dan Sapaan Bahasa Simalungun Pemanfaatan Budaya Sebagai Materi Ajar
Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing dengan Pendekatan Komunikatif
(Comunicative Aproach) Universitas Jambi. Jambi.

